PERNIKAHAN ADALAH FITRAH BAGI MANUSIA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Agama Islam adalah agama fitrah, dan manusia diciptakan Allah ‘Azza wa
Jalla sesuai dengan fitrah ini. Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla
menyuruh manusia untuk menghadapkan diri mereka ke agama fitrah agar
tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan sehingga manusia tetap
berjalan di atas fitrahnya.
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka dari itu Islam menganjurkan untuk
menikah karena nikah merupakan gharizah insaniyyah (naluri
kemanusiaan). Apabila gharizah (naluri) ini tidak dipenuhi dengan jalan
yang sah, yaitu pernikahan, maka ia akan mencari jalan-jalan syaitan
yang menjerumuskan manusia ke lembah hitam.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ
النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai)
fitrah Allah, disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah)
itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Ar-Ruum : 30]
A. Definisi Nikah ( اَلنِّكَاحُ )
An-Nikaah menurut bahasa Arab berarti adh-dhamm (menghimpun). Kata ini dimutlakkan untuk akad atau persetubuhan.
Adapun menurut syari’at, Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah
menurut syari’at adalah akad perkawinan. Ketika kata nikah diucapkan
secara mutlak, maka kata itu bermakna demikian selagi tidak ada satu pun
dalil yang memalingkan darinya.” [1]
Al-Qadhi rahimahullaah mengatakan, “Yang paling sesuai dengan prinsip
kami bahwa pernikahan pada hakikatnya berkenaan dengan akad dan
persetubuhan sekaligus. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ
سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi
oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh,
perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk
jalan (yang ditempuh).” [An-Nisaa' : 22][2]
B. Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan ikatan pernikahan yang sah berdasarkan Al-Qur-an
dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri
manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang
Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan besar sekali,
sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama.
Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ اْلإِيْمَانِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِى.
"Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh imannya. Dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya
lagi.’”[3]
Dalam lafazh yang lain disebutkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَزَقَهُ اللهُ امْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ اللهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي الشَّطْرِ الثَّانِى.
“Barangsiapa yang dikaruniai oleh Allah dengan wanita (isteri) yang
shalihah, maka sungguh Allah telah membantunya untuk melaksanakan
separuh agamanya. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam menjaga
separuhnya lagi.”[4]
C. Islam Tidak Menyukai Hidup Membujang
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah
dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Shahabat Anas
bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan kami untuk menikah dan melarang membujang dengan
larangan yang keras.”
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Nikahilah wanita yang subur dan penyayang. Karena aku akan berbangga
dengan banyaknya ummatku di hadapan para Nabi pada hari Kiamat.”[5]
Pernah suatu ketika tiga orang Shahabat radhiyallaahu ‘anhum datang
bertanya kepada isteri-isteri Nabi shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam
tentang peribadahan beliau. Kemudian setelah diterangkan, masing-masing
ingin meningkatkan ibadah mereka. Salah seorang dari mereka berkata:
“Adapun saya, maka sungguh saya akan puasa sepanjang masa tanpa putus.”
Shahabat yang lain ber-kata: “Adapun saya, maka saya akan shalat malam
selama-lamanya.” Yang lain berkata, “Sungguh saya akan menjauhi wanita,
saya tidak akan nikah selama-lamanya... dst” Ketika hal itu didengar
oleh Nabi shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya
bersabda:
أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّي
َلأَخْشَاكُمْ ِللهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، وَلَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ
وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي.
“Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu? Demi Allah,
sesungguhnya akulah yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa
kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku ber-buka,
aku shalat dan aku pun tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka,
barangsiapa yang tidak menyukai Sunnahku, ia tidak termasuk
golonganku.”[6]
Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
اَلنِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ
مِنِّي، وَتَزَوَّجُوْا، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ، وَمَنْ
كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ
بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ.
“Menikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang enggan melaksanakan sunnahku,
maka ia bukan dari golonganku. Menikahlah kalian! Karena sesungguhnya
aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh ummat.
Barangsiapa memiliki kemampuan (untuk menikah), maka menikahlah. Dan
barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu
adalah perisai baginya (dari berbagai syahwat).” [7]
Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
تَزَوَّجُوْا، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ تَكُوْنُوْا كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى.
“Menikahlah, karena sungguh aku akan membanggakan jumlah kalian kepada
ummat-ummat lainnya pada hari Kiamat. Dan janganlah kalian menyerupai
para pendeta Nasrani.”[8]
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan
dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Sesungguhnya, hidup
membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang
tidak memiliki makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari
berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar
egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua
tanggung jawab.
Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri.
Mereka membujang ber-sama hawa nafsu yang selalu bergelora hingga
kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Diri-diri mereka selalu
berada dalam pergolakan melawan fitrahnya. Kendati pun ketaqwaan mereka
dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus
lambat laun akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu
kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.
Jadi orang yang enggan menikah, baik itu laki-laki atau wanita, mereka
sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka
adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik
kesenangan bersifat biologis maupun spiritual. Bisa jadi mereka
bergelimang dengan harta, namun mereka miskin dari karunia Allah ‘Azza
wa Jalla.
Islam menolak sistem ke-rahib-an (kependetaan) karena sistem tersebut
bertentangan dengan fitrah manusia. Bahkan, sikap itu berarti melawan
Sunnah dan kodrat Allah ‘Azza wa Jalla yang telah ditetapkan bagi
makhluk-Nya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin
adalah sikap orang yang jahil (bodoh). Karena, seluruh rizki telah
diatur oleh Allah Ta’ala sejak manusia berada di alam rahim.
Manusia tidak akan mampu menteorikan rizki yang dikaruniakan Allah ‘Azza
wa Jalla, misalnya ia menga-takan: “Jika saya hidup sendiri gaji saya
cukup, akan tetapi kalau nanti punya isteri gaji saya tidak akan cukup!”
Perkataan ini adalah perkataan yang bathil, karena bertentangan dengan
Al-Qur-anul Karim dan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk menikah, dan seandainya
mereka fakir niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan membantu dengan memberi
rizki kepadanya. Allah ‘Azza wa Jalla menjanjikan suatu pertolongan
kepada orang yang menikah, dalam firman-Nya:
كِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ
فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan
juga orang-orang yang layak (me-nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang
laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas
(pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [An-Nuur : 32]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah ‘Azza wa Jalla tersebut melalui sabda beliau:
“Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah: (1)
mujahid fi sabilillah (orang yang berjihad di jalan Allah), (2) budak
yang menebus dirinya supaya merdeka, dan (3) orang yang menikah karena
ingin memelihara kehormatannya.” [9]
Para Salafush Shalih sangat menganjurkan untuk menikah dan mereka benci membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.
Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu pernah berkata, “Seandainya aku tahu
bahwa ajalku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah.
Aku ingin pada malam-malam yang tersisa bersama seorang isteri yang
tidak berpisah dariku.” [10]
Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Ibnu ‘Abbas ber-tanya kepadaku,
‘Apakah engkau sudah menikah?’ Aku menjawab, ‘Belum.’ Beliau kembali
berkata, ‘Nikahlah, karena sesungguhnya sebaik-baik ummat ini adalah
yang banyak isterinya.’”[11]
Ibrahim bin Maisarah berkata, “Thawus berkata kepadaku, ‘Engkau
benar-benar menikah atau aku mengatakan kepadamu seperti apa yang
dikatakan ‘Umar kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangi-mu untuk
menikah kecuali kelemahan atau kejahatan (banyaknya dosa).’” [12]
Thawus juga berkata, “Tidak sempurna ibadah seorang pemuda sampai ia menikah.”[13]
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa
Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Al-Mughni ma’a Syarhil Kabiir (IX/1130).
[2]. Al-Mughni ma’a Syarhil Kabiir (IX/113). Lihat ‘Isyratun Nisaa'
minal Aliif ilal Yaa (hal. 12) dan al-Jaami' liahkaamin Nisaa' (III/7).
[3]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath
(no. 7643, 8789). Syaikh al-Albani rahimahullaah menghasankan hadits
ini, lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 625).
[4]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam
Mu’jamul Ausath (no. 976) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (II/161) dan
dishahihkan olehnya, juga disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Shahiih
at-Targhiib wat Tarhiib (II/404, no. 1916)
[5]. Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/158, 245),
Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no. 4017, Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih
Ibni Hibban) dan Mawaariduzh Zham’aan (no. 1228), ath-Thabrani dalam
Mu’jamul Ausath (no. 5095), Sa’id bin Manshur dalam Sunannya (no. 490)
dan al-Baihaqi (VII/81-82) dan adh-Dhiyaa' dalam al-Ahaadiits
al-Mukhtarah (no. 1888, 1889, 1890), dari Sha-habat Anas bin Malik
radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini ada syawahid (penguat)nya dari Shahabat
Ma’qil bin Yasar radhiyallaahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no.
2050), an-Nasa-i (VI/65-66), al-Baihaqi (VII/81), al-Hakim (II/ 162) dan
dishahihkan olehnya. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
rahimahullaah. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1784).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5063), Muslim (no.
1401), Ahmad (III/241, 259, 285), an-Nasa-i (VI/60) dan al-Baihaqi
(VII/77) dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1846)
dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah al-Ahaadiits
ash-Shahiihah (no. 2383)
[8]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (VII/78) dari Shahabat
Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini memiliki beberapa syawahid
(penguat). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1782).
[9]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/251, 437), an-Nasa-i
(VI/61), at-Tirmidzi (no. 1655), Ibnu Majah (no. 2518), Ibnul Jarud (no.
979), Ibnu Hibban (no. 4030, at-Ta’liiqatul Hisaan no. 4029) dan
al-Hakim (II/160, 161), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”
[10]. Lihat Mushannaf ‘Abdurrazzaq (VI/170, no. 10382), Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah (VI/7, no. 16144) dan Majma’uz Zawaa-id (IV/251).
[11]. Sanadnya shahih: Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 5069) dan al-Hakim (II/160).
[12]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq (VI/170, no. 10384), Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah (VI/6, no. 16142), Siyar A’lamin Nubala (V/48).
[13]. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (VI/7, no. 16143) dan Siyar A’lamin Nubala’ (V/47).